Hakikat Syukur

Sepanjang hari, nikmat dan anugerah Allah kita peroleh. Tidak usah jauh-jauh, marilah kita lihat diri kita sendiri secara fisik. Kita diberi indera yang lengkap --penglihatan, pendengaran, penciuman, pernapasan, dan seterusnya-- yang memungkinkan kita mengecap segala bentuk nikmat duniawi yang enak-enak dan indah. Atau lihatlah sekeliling kita, sinar mentari yang hangat, air dan udara yang segar, pepohonan tempat berteduh, semua disediakan oleh Allah untuk kita, tanpa kita membayar. Itulah sebab Rasulullah SAW menganjurkan agar kita beribadah sebanyak mungkin, sebagai ungkapan syukur kita kepada-Nya, atas pelbagai nikmat pemberian-Nya. Allah adalah Zat Mahasegalanya, jadi Dia tidak membutuhkan apa pun dari kita. Allah pun tidak membutuhkan ibadah kita, karena bagi Dia tidak jadi soal apakah seluruh semesta menyembah-Nya atau malah ingkar pada-Nya. 


Ibadah kita kepada-Nya semata-mata berpangkal dari kesadaran kita sendiri, yakni kesadaran tentang keharusan untuk bersyukur kepada-Nya karena telah memberi kita begitu banyak nikmat. Rasulullah pernah ditanya sahabatnya, mengapa beliau shalat sunat di malam hari (qiyamullail) sampai kakinya bengkak-bengkak. Bukankah beliau sudah diampuni segala dosanya yang akan datang, bukankah beliau sudah dijamin masuk surga? Jadi, buat apa beliau susah-susah memperbanyak ibadah? Beliau menjawab, ''Tidak bolehkah aku bersyukur?'' Jawaban beliau ini untuk menjelaskan bahwa tujuan ibadah bukan semata-mata untuk mengharap surga-Nya, atau agar terhindar dari neraka-Nya. Namun, lebih dari itu, ibadah adalah ekspresi rasa syukur kita kepada Allah atas semua nikmat pemberian-Nya. 

Allah SWT sendiri tidak suka kepada manusia-manusia yang enggan bersyukur. Dalam sebuah hadis qudsi, Dia berkata, ''Siapa yang tidak mau bersyukur atas nikmat pemberian-Ku, dan tidak mau bersabar atas cobaan-Ku, maka silakan saja ia keluar dari kolong langit-Ku dan silakan ia cari tuhan selain Aku!'' 

Dalam tataran paling mendasar, rasa syukur bisa diwujudkan dengan cara menjaga nikmat Allah agar tidak digunakan di jalan maksiat. Kita biasa mengucap hamdalah atau mungkin memperbanyak ibadah mahdhah dan ibadah-ibadah sunat lainnya, sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada-Nya karena telah memberi kita nikmat yang tak terkira. Akan tetapi, Alhamdalah kita, amal-amal mahdhah, dan amalan sunat kita yang lain, itu semua tidak akan ada artinya sama sekali jika, di sisi lain dan bersamaan dengan itu, kita masih saja melakukan maksiat kepada Allah dengan menggunakan fasilitas nikmat pemberian-Nya. 

Misalnya saja kita sering shalat dan puasa sunat, katakanlah itu kita lakukan sebagai ungkapan syukur, tetapi kita juga tidak bisa meninggalkan ucapan jorok, menggunjing saudara, dan sebagainya, ya apa gunanya. Karena itu, tentu saja, yang paling baik adalah bila kita rajin shalat dan puasa dan pada waktu bersamaan kita bisa menjaga mulut dan perilaku dari hal-hal yang tidak baik. Itulah antara lain hakikat dari rasa syukur.


1 comments:

bermanfaat sekali mas artikelnya ,,, salam kenal yah