Suatu ketika Ash bin Wa'il berkata kepada kawan-kawannya. Isi pembicaraannya itu dimaksudkan menyindir dan mengejek seruan Nabi saw. ''Orang-orang yang menjadi pengikut Muhammad itu penipu, dan Muhammad itu kepala penipu karena dia berkata bahwa orang-orang yang sudah mati akan dihidupkan lagi. Sebagian mereka bersuka ria dan bersenang-senang di surga, sebagian lagi menderita dan berduka cita di dalam neraka. Demi Allah! Tidak akan ada yang membinasakan kita, melainkan masa. Maka perkataan Muhammad itu tidak masuk akal dan mustahil terjadi. Sebab itu, teranglah Muhammad itu sesungguhnya seorang pendusta,'' ujar Ash bin Wa'il.
Perkataan Ash bin Wa'il itu adalah satu dari sekian propaganda pemuka Quraisy untuk merintangi dakwah Nabi saw. Namun, sehebat apa pun propaganda mereka, pada akhirnya, pamor dan pengakuan akan kejujuran seorang Muhammad tidak terbantahkan. Kepercayaan yang merupakan jaminan Allah SWT, ''Sesungguhnya aku adalah utusan (Allah) yang dipercaya padamu.'' (Ad-Dukhan: 18).
Ini dibuktikan dengan pengakuan Ashabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama masuk Islam) yang menjadi pasukan garda depan pembela Nabi saw. Mereka mengakui kejujuran beliau semata bukan karena Nabi adalah pemimpin mereka, tetapi pengakuan itu lahir dari pembuktian diri beliau sendiri, berdasarkan realita di lapangan. Beliau terkenal jujur, bisa dipercaya, jujur dalam perkataan dan jujur dalam perbuatan sejak mudanya, dengan gelar al-Amin.
Kini kejujuran menjadi barang langka di negara kita. Ia menjadi barang langka yang kelangkaannya niscaya mulai dari pemimpin hingga rakyatnya. Pemimpin semakin rajin membohongi rakyat. Rakyat dididik pintar mengibuli pemimpinnya hingga pada akhirnya yang tumbuh budaya saling mencurigai, saling tuduh, dan saling tuding.
Maka tatkala propaganda akan ketidakjujuran dialamatkan pada banyak pemimpin bangsa ini --entah benar atau sekadar tudingan belaka-- tidak semua pemimpin bangsa kita bernasib baik seperti Rasulullah. Tidak jarang bahwa pemimpin harus rela mengais pengakuan kejujuran dari rakyatnya. Pengakuan itu tidak kunjung tiba, yang ada malah cacian dan cercaan.
Sekalipun ada, hanyalah ekspresi budaya ''asal bapak senang'' (ABS). Barangkali, ini terjadi bukan karena rakyat tiada lagi memiliki hati nurani, tetapi karena rakyat teramat sadar bahwa realita di lapangan kejujuran itu menjadi barang mainan para pemimpin bangsa ini. Wallahu a'lam. (Danis Wijaksana)
0 comments: